Salmaini S
NIM 1104307
salmaini.salma@gmail.com
A.
Pendahuluan
Tulisan
yang berjudul peranan information
technology (IT) dalam pendidikan
berkarakter ini merupakan makalah yang diajukan sebagai bahan penghantar
kegiatan diskusi dalam kegiatan kelas pada mata kuliah “Komputer” pada
Pascasarjana Universitas Negeri Padang. Oleh karena itu, penulis mencoba
mengaitkan proposisi-proposisi yang ada pada judul, yaitu pendidikan berkarakter
dan IT dan bagaimana pengaruhnya terhadap pembentukan karakter siswa dan
sebaliknya. Pembahasan ini diharapkan dapat memperjelas langkah-langkah konkrit
dalam kesalingberperanan antara IT di satu sisi dan pembentukan karakater siswa
pada sisi lain.
Dalam
aplikasi pendidikan di sekolah hubungan antara pembentukan karakter dengan IT
tidak dapat dilepaskan dari tujuan
pendidikan karena yang akan kita capai dalam usaha pendidikan adalah apa yang
digariskan dalam tujuan pendidikan. Untuk memantapkan landasan berpikir kita,
pertama, perlu diingat dan dicermati apa yang menjadi tujuan pendidikan yang digariskan
dalam UUD 1945 (versi Amendemen) sebagai landasan
konstitusional. Pada pasal 31 tentang Pendidikan, pada ayat 3 dinyatakan bahwa,
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang." Dan pada pasal 31, ayat 5 dituliskan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat." Bagian yang
penulis cetak miring pada kutipan di atas merupakan konsep-konsep penting untuk pegangan dalam pembahasan ini.
Sesuai
dengan amanat UUD 1945, maka tujuan pendidikan itu dijabarkan dalam Undang-Undang No. 20,
Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 3 yang berisi, "Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung
jawab."
Berdasarkan kutipan di atas dapat ditegaskan bahwa tujuan
pendidikan adalah agar bekembangnya potensi peserta didik menjadi manusia yang
beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
demokratis dan bertanggung jawab. Dengan demikian, pengembangan pendidikan berkarakter
untuk siswa dan kaitannya dengan IT
tentulah harus mendukung tujuan-tujuan yang telah digariskan tersebut demi
tercapainya manusia Indonesia yang baik, berperadaban, dan dapat mensejahterakan
umat. Tujuan itu meliputi berbagai aspek, yaitu:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Berdasarkan aspek-aspek yang dirinci dari tujuan pendidikan
tersebut nyatalah bahwa pendidikan berkarakter untuk peningkatan akhlak mulia dan penguasaan IT sebagai peningkatan
penguasaan teknologi merupakan aspek yang perlu ditumbuhkembangkan dalam
pembelajaran berorientasi masa depan. Pembentukan karakter dan penguasaan IT
dapat sama-sama menjadi tujuan pembelajaran dan sekaligus sebagai media pembelajaran,
media informasi multiguna dalam pembentukan
kehidupan agar makin tercapai apa yang dicitakan pendidikan nasional ke depan,
yaitu terbentuknya warga negara yang bertanggung jawab dan demokratis.
B. Pendidikan Berkarakter Bagi Siswa
Pendidikan karakter, budaya, dan moral sebenarnya
sudah sejak lama didengungkan dalam
ranah pendidikan di Indonesia oleh para pakar pendidik kita. Misalnya, Ki Hajar
Dewantara merintisnya dengan tri pusat pendidikan yang menyebutkan bahwa
wilayah pendidikan berguna membangun konstruksi fisik, mental, dan spiritual
yang handal dan tangguh dimulai dari; (i) lingkungan keluarga; (ii) lingkungan
sekolah; dan (iii) lingkungan sosial. Pada saat
sekarang pendidikan karakter kembali digiatkan untuk membangun budaya
kemanusiaan yang bermartabat setelah
negara kita mengalami krisis multidimensi dalam berbagai bidang karena tidak
terrealisasikannya karakter baik pada banyak orang yang mengurus kepentingan
negara. Tindak kejahatan yang meningkat,
kekerasan, penindasan, korupsi, sogok, aborsi, serba palsu, dan berbagai
prilaku menyimpang begitu nyata dalam kehidupan sekarang sebagai bukti
hilangnya sikap hidup berkarakter dalam masyarakat.
Untuk
memintas supaya arus kejadian seperti itu tidak berlarut-larut dalam dekadensi
karakter dan untuk menyiapkan generasi yang berkarakter mulia maka pendidikan
berkarakter dirumuskan kembali. Secara
akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan
budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan dalam pertimbnga baik-buruk,
memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari
dengan sepenuh hati. Dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan
karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang disebut pada awal tulisan, harus dimiliki peserta
didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa akan
datang.
Secara
mikro pengembangan nilai dan pendidikan karakter dapat dilakukan dalam empat
pilar, yakni dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian
dalam bentuk budaya sekolah (school culture);
kegiatan ko-kurikuler atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di
rumah, dan dalam masyarakat. Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas
pengembangan nilai berkarakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded
approach). Pembelajaran Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa menggunakan
pendekatan proses belajar peserta didik belajar aktif dan berpusat pada anak,
dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah, dan masyarakat. Di kelas dilaksanakan melalui proses belajar
setiap mata pelajaran atau kegiatan yang dirancang khusus. Setiap kegiatan
belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Oleh karena itu, tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan
nilai-nilai pada pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Meski pun
demikian, untuk pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur,
toleransi, disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar
membaca dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru.
Untuk pegembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan,
rasa ingin tahu, dan menjadi pribadi kreatif memerlukan upaya pengkondisian
sehingga peserta didik harus diberi kesempatan untuk memunculkan perilaku yang
menunjukkan nilai tersebut.

Kedua, sumber nilai-nilai karakter adalah Pancasila karena negara kesatuan Republik
Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada
Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal
yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur
kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan,
budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan
karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi
warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang
memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupannya sebagai warga negara.
Ketiga, sumbernya adalah nilai-nilai budaya karena sebagai
suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang
hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui
masyarakatnya. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna
terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi
antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang
demikian penting dalam kehidupan masyarakat
mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa. Keempat,Tujuan
Pendidikan Nasional: sebagaimana dirumuskan, kualitas yang harus dimiliki
setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh
berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang
dan jalur. Tujuan pendidikan nasional
memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara
Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang
paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Berdasarkan keempat sumber nilai itu, telah
teridentifikasi dan ditetapkan sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan
karakter bangsa sebagai berikut ini.
Tabel 1 Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai
|
Deskripsi
|
1. Religius
|
Sikap dan perilaku
yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran
terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama
lain.
|
2. Jujur
|
Perilaku yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
|
3. Toleransi
|
Sikap dan
tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan
tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
|
4. Disiplin
|
Tindakan yang
menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
|
5. Kerja Keras
|
Perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar
dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
|
6. Kreatif
|
Berpikir dan
melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimiliki.
|
7. Mandiri
|
Sikap dan perilaku
yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
|
8. Demokratis
|
Cara berfikir,
bersikap, dan bertindak yang menilai samahak dan kewajiban dirinya dan orang
lain.
|
9. Rasa Ingin
Tahu
|
Sikap dan tindakan
yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu
yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
|
10. Semangat
Kebangsaan
|
Cara berpikir,
bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan diri dan kelompoknya.
|
11. Cinta Tanah
Air
|
Cara berfikir,
bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
|
12. Menghargai
Prestasi
|
Sikap dan tindakan
yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
|
13. Bersahabat/
Komunikatif
|
Tindakan yang
memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang
lain.
|
14. Cinta Damai
|
Sikap, perkataan,
dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas
kehadiran dirinya.
|
15. Gemar
Membaca
|
Kebiasaan
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya.
|
16. Peduli
Lingkungan
|
Sikap dan tindakan
yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya,
dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.
|
17. Peduli
Sosial
|
Sikap dan tindakan
yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
|
18. Tanggung-
jawab
|
Sikap dan perilaku
seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia
lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan
budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
|
Sumber: Puskur Balitbang Kemdiknas 2010.
Berdasarkan tabel di atas, ada delapan belas jenis karakter yang
mesti dibelajarkan dalam pemebelajaran di sekolah. Bila dihubungkan dengan
tugas pendidikan maka nilai karakter tersebut perlu direlevansikan dengan
hakikat pendidikan itu sendiri. Dalam UU
No. 20
Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa: ”Pendidikan
adalah usaha sadar
dan teren-cana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Berdasarkan rumusan pendidikan itu
dapat dinyatakan bahwa pendidikan karakter mesti merupakan usaha sadar dan
terencana yang mesti dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait dengan
pendidikan. Dari sekian banyak pihak yang terkait maka pihak yang paling
menentukan bagaimana pendidikan berkarakter itu di kelas adalah guru karena
guru memegang peran utama dalam pendidikan.
Guru mempunyai peran utama dalam membentuk dan mewujudkan karakter murid
dalam semua tahap pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai
pada tahap evaluasi dan tindak lanjut pembelajaran. Dengan demikian, peran guru
dalam pembentukan karakater siswa sangat menentukan. Menurut Megawangi (2010), ada tiga tahap pembentukan
karakter, yaitu moral knowing dalam arti memahamkan dengan baik pada anak
tentang arti kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku
baik. Dan apa manfaat berperilaku baik. Moral
feeling , yaitu membangun kecintaan berperilaku
baik pada anak yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya. Ketiga, moral
action, yakni bagaimana membuat pengetahuan
moral menjadi tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan
harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi moral behavior. Dengan tiga tahapan itu, proses pembentukan karakter akan jauh
dari kesan dan praktik doktrinasi yang menekan, justru sebaliknya, siswa akan
mencintai berbuat baik karena dorongan internal dari dalam dirinya sendiri.
Berikut diberikan contoh penumbuhan karakter dalam pembelajaran. Pisang mempunyai misi di
dunia secara sederhana adalah “menyajikan buahnya” untuk manusia dan hewan,
sehingga manusia dan hewan bersedia untuk menyebarluaskan benih-benih pisang
sebagai bentuk “barter”. Kesungguhan untuk menjalankan misi ini sangat tampak
pada pisang. Jika kita memotong batang pohon pisang maka dia akan berusaha tumbuh
lagi, dipotong lagi, tumbuh lagi begitu seterusnya sepanjang tidak
membabat habis, pisang akan selalu berusaha untuk tumbuh, tidak “putus asa”
dalam mengemban misinya itu dan baru berakhir setelah menghasilkan buah. Dari
model pisang kita bisa mengambil pesan moral bahwa pisang merupakan model yang
baik untuk sifat amanah dan tidak mudah pustus asa. Amanah dan tidak mudah
putus asa merupakan ciri dari orang yang beriman sebagaimana firman Allah dalam
Q.S Al Yusuf: 87 … dan janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allah… Amanah dan tidak mudah putus asa merupakan karakter perilaku
soft skill yang harus dimiliki olah
peserta didik.
Wawasan pendidikan berkarakter yang telah dipaparkan di atas akan
semakin berdaya guna bila dibelajarkan dengan media yang cocok dan sesuai
dengan tujuan pendidikan. Dengan demikian, penggunaan IT dalam pendidikan berkarakter tidak bisa
dielakkan karena IT menyajikan objek pembelajaran dengan banyak kemudahan dan
keuntungan seperti, mudahnya mendapatkan informasi, praktis, terkini, dan
menunjang kemandirian. Belajar dengan menggunakan IT tentu dapat memaksimalkan bebagai fasilitas yang
ada pada IT yang digunakan untuk membentuk karakter siswa.
C. Information Technology (IT) dalam Pendidikan Bekarakter
Kemampuan teknologi informasi komputer
(TIK) terutama internet makin membuat dunia ini benar-benar terasa seperti
“kampung” maya, di mana para penduduknya sangat dekat. Tentu saja semua ini
mempercepat penyebaran informasi tanpa batas, baik informasi faktual,
konseptual, maupun prosedural, dalam kemasan artikel, jurnal, buku atau kemasan
lain dengan diiringi gambar dan suara yang sesuai dengan segala kreativitas
artistiknya. Laman-laman internet menjadi sumber informasi bagi semua orang
yang menginginkannya. Dengan teknologi mutakhir ini, telah pula berkembang
pembelajaran berbasis komputer dan berbasis TIK, yang membantu upaya memotivasi
pelajar melalui kemasan informasi yang memikat, lengkap dengan gambar berwarna
dan bergerak, baik gambar nyata maupun animasi. Model pembelajaran ini tentu
selaras dengan lingkungan ber-TIK di sekolah sehingga memotivasi pelajar untuk
belajar dan berkarya mencapai tujuan pembelajaran.
Misalnya, kehadiran handphone (HP) tambah memeriahkan IT
karena menjadikan komunikasi antar manusia sangat lancar tanpa kendala ruang
dan waktu, dan benar-benar instan. Kapasitas memori mesin HP yang makin besar
mampu memuat data yang besar pula, termasuk pertunjukan musik dan gambar hidup
bersama suaranya. Maka, penggunanya memperoleh keuntungan ganda: (a) komunikasi
tak kenal waktu dan tempat, dan (b) hiburan seketika. Di samping itu, pengguna
HP juga bisa mengunduh informasi dari laman internet sehingga HP dapat membantu
para pelajar dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan dukungan banyak
informasi dalam waktu cepat. Kemampuan untuk mencetak langsung informasi yang
diunduh dapat menghemat waktu para pelajar tsb.
Kesungguhan pengembangan
teknologi internet jelas membawa perubahan besar dalam dunia informasi dan
pendidikan. Banyak keuntungan yang dapat diambil dari TIK dan sebaliknya juga
ada menu informasi TIK yang perlu disaring dan dihindari karena tidak sesuai
dengan tujuan pendidikan. Meskipun demikian dalam pengupayaan TIK oleh para
pakar merupakan pelajaran yang dapat diperoleh dan disimpulkan dari
perkembangan TIK. Di antaranya adalah bahwa: (a) dalam kehidupan bermasyarakat ada pekerjaan
yang memerlukan ketekunan, ketelitian, ketaatan, dan disiplin tinggi dan untuk ini diperlukan
pelatihan yang memadai, meski hal ini tampak usang dalam era teknologi yang
serba cepat; (b) kemampuan analisis dan sintesis serta berpikir abstrak sangat
diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi perlu diimbangi dengan
kemampuan berpikir realistis agar tidak canggung menghadapi kehidupan nyata;
(c) kemudahan dalam mengakses dan menggandakan bahan cetak mendorong praktik
plagiat dan tantangan ini perlu dijawab lewat pendidikan dengan penanaman nilai
kejujuran dan sportivitas; (d) kemampuan teknologi moderen untuk menyajikan
informasi secara cepat dalam kemasan menarik dapat mempermudah pembelajaran
bagi peserta didik dengan perbedaan tingkat kemampuan dan gaya belajar; dan (e) teknologi yang membuat
segala urusan kehidupan lebih mudah ini hanya mungkin lahir karena kreativitas
manusia yang didukung ketersediaan sumber daya sebagai anugerah dari Tuhan Yang
Masa Esa.
Namun
demikian, teknologi mengubah budaya hidup, dan perubahan itu tidak selalu
positif, bahkan ada yang secara mendasar sangat negatif. Sebagai contoh,
terciptannya budaya instan dalam penerapan teknologi canggih yang membuat semua
urusan menjadi sangat mudah, dapat mengurangi daya tahan mental dan daya juang
yang terkait dengan kesungguhan, keuletan, kegigihan, dan kerja keras padahal pengembangan ilmu
pengetahuan untuk mendukung pembangunan kehidupan yang lebih baik memerlukan
semua ini. Suguhan media elektronik tentang gambaran kehidupan yang gemerlapan
lewat kemasan hiburan telah menciptakan budaya konsumtif-boros. Selain itu,
keasyikan menikmati hiburan di depan TV atau mengakses informasi di depan
komputer dapat menghilangkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti berolahraga dan
bersilaturahmi dengan saudara/sahabat sehingga banyak kasus obesitas dan
kegersangan kehidupan sosial.
Selain itu,
jika pembelajaran sebagian besar dilaksanakan dengan ICT, peserta didik akan
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan interaktif dan
komunikasi tatap muka dan belajar memecahkan masalah dan bersosialisasi. Semua
ini menjadi tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang menjadi TIK sebagai sarana
mencerdaskan kehidupan bangsa. Singkatnya, teknologi dalam pembentukan karakter
siswa tidak dapat mengambil alih peran guru.
Sehubungan dengan kekurangan yang ditimbulkan IT itu maka
diperlukan prinsip-prisip yang menjadi panduan dalam ber-TIK di sekolah. Untuk menjaga agar pemanfaatan TIK tetap memberikan
kontribusi signifikan terhadap (1) pengembangan peserta didik menjadi manusia
berkarakter dan berkecerdasan intelektual dan (2) pemberdayaan pendidik dan
tenaga kependidikan terkait, hendaknya diterapkan prinsip-prinsip berikut:
1. Pemanfaatan TIK dalam pendidikan hendaknya mempertimbangkan
karaktersitik peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam
keseluruhan pembuatan keputusan TIK.
2. Pemanfaatan TIK hendaknya dirancang untuk memperkuat
minat dan motivasi pengguna untuk menggunakannya semata guna meningkatkan
dirinya, baik dari segi intelektual, spiritual (rohani), sosial, maupun ragawi.
3. Pemanfaatan TIK hendaknya menumbuhkan kesadaran dan
keyakinan akan pentingnya kegiatan berinteraksi langsung dengan manusia (tatap
muka), dengan lingkungan sosial-budaya (pertemuan, museum, tempat-tempat bersejarah), dan lingkungan alam (penjelajahan)
agar tetap mampu memelihara nilai-nilai sosial dan humaniora (seni dan budaya),
dan kecintaan terhadap alam sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
4. Pemanfaatan TIK hendaknya menjaga bahwa kelompok
sasaran tetap dapat mengapresiasi teknologi komunikasi yang sederhana dan
kegiatan-kegiatan pembelajaran tanpa TIK karena tuntutan penguasaan kompetensi
terkait dalam rangka mengembangkan seluruh potensi siswa secara seimbang.
5. Pemanfaatan TIK hendaknya mendorong pengguna untuk
menjadi lebih kreatif dan inovatif sehingga tidak hanya puas menjadi konsumen
informasi berbasis TIK.
Guru memegang peran kunci dalam pembelajaran
dan dalam pemanfaatan TIK untuk tujuan kependidikan karakter. Agar dapat memetik
manfaat optimal dari TIK untuk mencapai tujuan pembelajaran berkarakter yang
telah ditetapkan, para guru perlu menguasasi sederet kompetensi memadai untuk
dapat menyelenggarakan pembelajaran berbantuan atau berbasis TIK. Dalam hal
ini, dapat dipertimbangkan perangkat kompetensi guru untuk era ICT yang
dikembangkan oleh NSW Institute of Teachers (http://enuinjkt.ac.id/index.php/campus-news/224-utilizing-information-and-communication-technology),
seperti disajikan di bawah:
1. Pemahaman
tentang asumsi pedagogis yang melandasi penggunaan TIK, misalnya bias gender
dan etnik, relevansi pendidikan, dampak sosial, kecocokannya dengan lingkungan kelas, dengan pembelajaran
kooperatif dan dengan interaksi sejawat;
2. Pertimbangan
tentang persoalan akses yang tepat ke informasi, dan verifikasi sumber
informasi termasuk Internet;
3. Pemahaman
tentang TIK dan potensinya untuk meningkatkan belajar siswa;
4. Peningkatan
kesadaran akan sederet aplikasi dan teknologi adaptif yang tersedia untuk mendukung
siswa berkebutuhan khusus;
5. Evaluasi
terhadap materi belaajr berbasis TIK dan perangkat lunak untuk tujuan
pendidikan;
6. Penggunaan efektif aplikasi TIK untuk mendukung
hasil, isi, dan proses silabus tertentu,
7. Peningkatan keterampilan untuk merancang serangkaian
tugas penilaian berbasis TIK yang menggunakan kriteria pensekoran yang jelas
terkait dengan hasil silabus
8. Pemahaman tentang persyaratan bahwa mereka dan
siswanya menggunakan informasi elektronik secara tepat, termasuk yang terkait
dengan plagiarisme, hak cipta, pensensoran, dan privasi;
9. Kapasitas mantap untuk menggunakan perangkat lunak
untuk menyusun teks, memanipulasi citra, menciptakan presentasi, mengadakan
sekuen suara digital dan visual, menyiumpan dan
meretriv informasi digital untuk pembelajran kelas dan online;
10. Kapasitas nyata untuk mengevaluasi secara kritis,
meretris, memanipulasi, dan mengelola
informasi dari sumber-sumber seperti Internet, SD-ROMS, DVDROMS, dan
program komersial lainnya;
11. Penggunaan perangkat lunak secara berhasil yang
mendukung jejaring dan komunikasi
sosial, termasuk email, forums,
chat and list services; dan
12. Kapasitas mantap untuk menggunakan perangkat lunak
yang tepat untuk membuat profil siswa dan pelaporan, persiapan pelajaran dan
administrasi sekolah.
Perangkat kompetensi guru tersebut di
atas dapat menjadi salah satu acuan untuk merancang pelatihan guru dalam jabatan agar mereka
mampu memanfaatkan TIK untuk pembelajaran yang diampunya. Penguasaan perangkat kompetensi guru di atas, akan
membantu mereka dalam menjalankan
delapan peran guru abad ke-21 sebagai berikut: adaptor, insan bervisi, kolaborator, pengambil
resiko, pembelajar, model, komunikator, dan
pemimpin. Penjelasan lengkap untuk masing-masing dapat diunduh dari
laman berikut: http://edorigami.wiki
spaces.com/21st+Century+Teacher.
Dari
kedelapan peran, kepemimpinan perlu diberi perhatian khusus, baik untuk guru,
kepala sekolah, dan pengelola pendidikan lainnya. Mengenai kepemimpinan menuju
perubahan, dapat dipertimbangkan pendapat Thousand
and Villas dalam makalah Managing complex
change yang diambil dari
(http://edorigami.wikispaces.com/Managing+complex+change. Salah satu bentuk TIK yang baru adalah
penggunaan E-Learning. Adapun kelebihan dan kekurangan
E-Learning adalah awi, 2002; Mulvihil, 1997; Utarini,1997),
antara lain. Pertama, Tersedianya fasilitas e-moderating di mana
guru dan siswa dapat berkomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet
secara regular atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan dengan
tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu. Kedua, Guru dan
siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstruktur dan
terjadual melalui internet, sehingga keduanya bisa saling menilai sampai berapa
jauh bahan ajar dipelajari. Ketiga, Siswa dapat belajar atau
me-review bahan ajar setiap saat dan di mana saja kalau diperlukan mengingat
bahan ajar tersimpan di komputer. Keempat, Bila siswa memerlukan tambahan
informasi yang berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, ia dapat melakukan
akses di internet secara lebih mudah. Kelima, Baik guru maupun
siswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah
peserta yang banyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih
luas. Keenam, Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif
menjadi aktif. Ketujuh, Relatif lebih efisien. Misalnya bagi
mereka yang tinggal jauh dari perguruan tinggi atau sekolah konvensional.
Walaupun demikian pemanfaatan internet untuk pembelajaran
atau e-learning juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Berbagai kritik
(Bullen, 2001, Beam, 1997), antara lain. Pertama, kurangnya
interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri. Kurangnya
interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar dan
mengajar. Kedua, Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau
aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial. Ketiga,
Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan daripada
pendidikan. Keempat, Berubahnya peran guru dari yang semula
menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui
teknik pembelajaran yang menggunakan ICT. Kelima, Siswa yang
tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal. Keenam, Tidak
semua tempat tersedia fasilitas internet. Ketujuh, Kurangnya
tenaga yang mengetahui dan memiliki ketrampilan internet. Kedelapan, Kurangnya
penguasaan bahasa komputer.
Berhubung
dengan keuntungan dan kemudaratan yang dihasilkan dengan menggunakan TIK dalam
pembelajaran maka pengaplikasian TIK dalam pendidikan berkarakter tidak boleh
menyimpang dari tujuan pendidikan, yaitu berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung
jawab." Dengan kata lain, penggunaan TIK harus mengupayakan peserta
didik menjadi orang beriman dan bertakwa, kreatif, mandiri, demokratis,
bertanggung jawab. Oleh karena itu, apa
yang disajikan dalam bentuk pornografi, kekerasan, dan penyelewengan
kepercayaan harus dihapuskan karena tidak relevan dengan tujuan penidikan.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka disimpulkan
bahwa perkembangan teknologi
komunikasi mulai dari yang sangat sederhana sampai yang tercanggih
(TIK-internet) mempunyai dampak makin besar dalam mengubah kehidupan manusia.
Pertama, pendidikan berkarakter mesti dikembangkan dengan teknologi yang telah memfasilitasi penambahan
dan pendalaman pengetahuan, yang pada gilirannya memfasilitasi penciptaan
pengetahuan, yang selanjutnya lagi dapat mendorong terciptanya teknologi
komunikasi baru. Kedua, teknologi
memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan ragam kehidupan dalam berbagai
karakter manusia bersama kenikmatan yang ditimbulkannya, tetapi pada waktu yang
sama budaya yang serba mudah dan instan cenderung mengikis nilai-nilai luhur
kehidupan itu. Ketiga, dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk
memanfaatkan potensial TIK secara optimal sambil menyedikitkan dampak
negatifnya. Untuk inilah, akhirnya, dunia pendidikan memerlukan kerangka pikir
dan prinsip pemanfaatan TIK. (dari berbagai sumber)